Jan Pieterszoon Coen memimpikan duplikat Amsterdam di Belanda ketika
meminta Simon Stevin merancang sebuah kota di muara Sungai Ciliwung yang
sering kebanjiran pada 1619. Kota yang dibangun di atas reruntuhan
Jayakarta itu dikelilingi parit-parit, tembok kota, lengkap dengan
kanal.
Dengan kanal-kanal itu, Coen berharap bisa mengatasi
banjir, sekaligus menciptakan sebuah kota yang menjadi lalu lintas
pelayaran, sebagaimana kota-kota di Belanda. Sungai Ciliwung yang
berkelok-kelok dialihkan dan digantikan sebuah terusan lurus, Kali
Besar, memotong kota menjadi dua bagian.
Namun, impian Coen hanya
bertahan singkat. Kota Batavia, yang dibangun Coen, memang sempat
dijuluki ”Venesia dari Timur”. Namun, tak lama kemudian, pertumbuhan
kota tak terkendali, rumah-rumah yang ada sempit dan berimpit. Endapan
lumpur yang memampetkan terusan berbau busuk dan menjadi sarang malaria.
Riwayat banjir
Banjir
ternyata tak terbendung. Hanya tiga tahun sejak dibangun, tahun 1621,
Batavia kebanjiran. Banjir juga terjadi pada 1654 dan sejak itu terus
membesar. Kota yang dirancang Coen ini perlahan ditinggalkan.
Menurut
catatan Restu Gunawan, sejarawan yang meneliti riwayat banjir Jakarta
sejak zaman kolonial hingga sekarang, pada akhir abad ke-18, terjadi
perpindahan besar-besaran penduduk Batavia ke daerah yang lebih tinggi
dan sehat di selatan, yaitu Weltevreden.
Weltevreden yang semula
hutan dan rawa-rawa lantas berkembang pesat. Apalagi 1807, Herman Willem
Daendels membangun pusat pemerintahan ibu kota koloni Belanda di Asia
di Weltevreden. Awalnya, Daendels hendak membangun pusat pemerintahan di
Semarang atau Surabaya. Karena alasan biaya, dia membangun di
Weltevreden. Pada 1830, ibu kota Hindia Belanda resmi pindah ke
Weltevreden, sekitar Lapangan Banteng saat ini.
Daerah ibu kota
itu kemudian berkembang pesat. Namun, banjir tak beranjak pergi. Menurut
Restu, 1 Januari 1892, Weltevreden kebanjiran. Seperti ditulis koran
Siang Po, banjir terjadi setelah turun hujan lebat selama delapan jam.
Curah hujan yang tercatat di Batavia saat itu 286 milimeter. Sebagai
catatan, ketinggian curah hujan saat itu jauh lebih tinggi dibandingkan
curah hujan rata-rata selama dua hari terakhir, 40-100 mm, yang
menyebabkan banjir besar di Jakarta. Artinya, faktor perubahan cuaca
boleh diabaikan sebagai penyebab banjir Jakarta.
Setahun
kemudian, banjir lebih besar melanda. Hampir seluruh kota terendam.
Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pasayuran, Kebon
Jeruk, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu terendam air hingga 1 meter.
Banjir memicu wabah kolera sehingga banyak warga meninggal.
Restu
juga mencatat, Batavia kembali kebanjiran pada 1895, 1899, 1904, dan
1909. Pemerintah kolonial dinilai gagal mengatasi banjir. Pada 19
Februari 1909, koran de Locomotief menulis berita berjudul ”Batavia
Onder Water”, pelesetan dari singkatan BOW (Burgelijke den Openbare
Werken), kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk
pengairan.
Sejak itu, banjir di Batavia terus meluas seiring
pembengkakan jumlah penduduk. Januari 1918, Batavia dilanda banjir hebat
sehingga melumpuhkan aktivitas kota selama sebulan. ”Belanda coba
mengatasi banjir dengan membangun kanal dan pintu air,” kata Restu.
Peninggalan
itu, antara lain, Kanal Banjir Kalimalang, pintu air Matraman, dan
pintu air Karet. Kanal Banjir Kalimalang, menurut Restu, bisa
menyelamatkan kawasan Menteng dan sekitarnya yang dihuni kalangan elite
Belanda dari banjir tahun 1923. Namun, permukiman pribumi di Batavia
tetap banjir.
Sistem kanal tidak bisa mengatasi banjir besar yang
melanda Batavia pada 1932 dan 1933. ”Kanal itu dibangun bukan untuk
menyelesaikan seluruh banjir Jakarta, hanya beberapa kawasan saja,
karena air pasti meluber ke daerah lain yang lebih rendah,” kata Restu.
Dari
dulu, kanal tidak memberi jaminan, apalagi Kanal Barat yang dirancang
Herman van Broeen tahun 1923 dan baru dibuat pada 1973. Proyek itu sudah
ketinggalan 50 tahun. Adapun Kanal Timur dibangun pada 2006. ”Sistem
Kanal Banjir Kalimalang yang dibuat ketika penduduk Jakarta masih di
bawah 800.000 orang saja tidak bisa mengatasi banjir. Anehnya, kita
sekarang masih mengandalkan kanal, bahkan mau membangun deep tunnel,”
ungkapnya.
Restu mengatakan, kegagalan sistem kanal yang dirintis
Belanda karena topografi Jakarta yang datar dan tingginya tingkat
sedimentasi.
Cekungan banjir
Ahli geologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan, mengatakan,
banjir Jakarta tak akan bisa diselesaikan dengan sistem kanal karena
geologis Jakarta sebenarnya cekungan banjir. Sebaliknya, kawasan utara
sekitar Ancol dan Teluk Jakarta mengalami pengangkatan karena proses
tektonik. Akibatnya, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta
tidak bisa mengalir lancar ke laut dan kerap terjebak di cekungan besar
Jakarta.
”Itu sebabnya, Teluk Jakarta tidak bisa membentuk delta,
seperti Delta Mahakam di Kalimantan. Endapan kasar yang dibawa
sungai-sungai mengendap di cekungan Jakarta sehingga tidak sampai ke
laut dan membentuk delta,” katanya.
Teluk Jakarta, menurut
Sopaheluwakan, adalah tinggian lokal, sementara dari Pantai Teluk ke
arah darat (ke selatan) adalah kawasan rendahannya. Dataran rendahan
(cekungan) ini dibatasi tinggian Ciputat. Jadi, dari barat Ciputat
hingga Teluk Jakarta ibarat sebuah mangkuk raksasa. Jakarta tepat berada
di tengah mangkuk itu sehingga secara geomorfologi disebut ”dataran
banjir Jakarta”.
Cekungan Jakarta, menurut Sopaheluwakan,
terbentuk dari tanah sedimen muda sangat tebal tetapi belum
terkonsolidasi. Akibatnya, secara geologis, tanah di Jakarta perlahan
turun. Penurunan tanah di Jakarta diperparah pengambilan air tanah
secara besar-besaran. ”Penurunan tanah di Jakarta bervariasi di beberapa
tempat, 4-20 sentimeter per tahun,” katanya.
Kondisi tanah yang
secara geologis merupakan cekungan menyebabkan pada masa lalu sebagian
kawasan Jakarta berupa rawa-rawa yang dikepung sungai-sungai. Sebagian
dataran yang kering pada musim kemarau menjadi daerah parkir air waktu
banjir. ”Di masa kolonial, daerah luapan banjir dinyatakan sebagai
daerah parkir air dan dinyatakan sebagai daerah pertanian dan kawasan
hijau. Pemanfaatannya untuk kawasan terbangun maksimal 5 persen dari
luas tanah,” kata Restu.
Sejak 1960-an, kawasan parkir air
diuruk. Sebagai contoh, kawasan Tebet yang sebenarnya adalah luapan
banjir Sungai Ciliwung, kawasan Mampang yang merupakan luapan banjir
Sungai Krukut, dan Kebayoran Lama yang merupakan luapan banjir Sungai
Grogol.
Ancaman banjir di Jakarta bertambah parah seiring
perubahan kawasan dataran tinggi yang mengelilingi cekungan menjadi
pusat permukiman baru. Waduk-waduk dan rawa-rawa yang banyak di
pinggiran Jakarta kini dikeringkan dan dijadikan hunian. Akibatnya,
kawasan untuk resapan air justru mengirim lebih banyak air permukaan ke
Jakarta.
Sopaheluwakan menyarankan, untuk mengurangi banjir
Jakarta, kota ini harus menambah kawasan resapan dan mengembalikan
fungsi tempat parkir air. ”Gambir ke selatan harus ada lebih banyak
ruang terbuka hijau dan situ-situ untuk menyerap air. Ini dimungkinkan
dengan merevisi total tata ruang yang ada. Lahan terbuka diperbanyak dan
pembangunan dilakukan ke atas,” katanya.
Kawasan penyangga juga
harus dihijaukan kembali. Tidak boleh lagi menghabisi lahan di
Tangerang, Bogor, dan sekitarnya untuk hunian.
Sejarah mencatat
banjir sudah mengakrabi Jakarta sejak awal pendirian kota ini. Yang jadi
masalah, warga kota tidak beradaptasi dengan banjir dan masih bermimpi
menyelesaikan banjir ”hanya” dengan kanal-kanal dan deep tunnel. ”Jika
takut banjir, jangan bangun rumah di bantaran sungai atau bekas situ.
Boleh saja bangun rumah di sana, tetapi berbentuk rumah panggung atau
rumah terapung, seperti di Sumatera dan Kalimantan,” kata Restu.
banjir di JAKARTA adalah takdir yang tak dapat dirubah
Minggu, 20 Januari 20130 komentar
Label:
politik
Posting Komentar