konflik AS VS KORUT makin memanas

Rabu, 27 Maret 20130 komentar

DEPOSTING Pada bulan November 2010 ini, Korut melakukan suatu permainan yang penuh resiko dan sangat berbahaya : Menembaki pulau Yeonpyeong, sebuah pulau di wilayah Korsel. Tindakan “sembrono” Korut ini masih kurang jelas dilakukan atas dasar apa, namun menurut sumber yang berasal pemerintah Korut hal ini dilakukan karena Korsel dahulu yang mulai melakukan aksi provokasi di wilayah perbatasan kedua negara.
Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan pemerintah Korea Utara, ini adalah suatu aksi nekat dan gila yang dilakukan oleh Pyongyang. Dengan berasumsikan bahwa Korsel adalah sekutu dekat AS dan Jepang, mereka (Korut) mempertaruhkan kedamaian bumi Asia bagian utara dengan menembaki puluhan peluru artilerinya ke wilayah Korsel. Terhitung sejak perang antara kedua negara tersebut pada tahun 1950 – 1953, insiden penembakan artileri ini adalah insiden paling agresif dari insiden-insiden sebelumnya.
Apa yang membuat Korea Utara sedemikian berani menentang Hagemoni Sekutu AS? Mungkin jawabannya terletak pada konstelasi global yang cenderung menunjukkan gejala dari Unipolar menuju Bipolar atau bahkan Multipolar. Artinya, dunia tidak lagi menganggap AS sebagai kiblat dari berbagai hal (terutama dalam bidang militer dan ekonomi). Kini sudah muncul kekuatan baru, misalnya Cina dengan kekuatan ekonominya yang dahsyat dan Rusia yang kini mulai membangkitkan kembali armada militernya setelah tertidur hampir selama dua dekade.
Korea Utara yang sadar dengan dinamika ini seakan-akan ingin “menguji” apa reaksi dunia terhadap penembakan ini. Dan tampaknya, hasil yang cukup “menggembirakan” telah datang kepada pihak Korea Utara.
Pertama-tama adalah sikap AS sendiri yang cenderung terlihat “lembek” terhadap insiden ini. AS hanya mengeluarkan ancaman tanpa mengeluarkan kebijakan yang berarti untuk menghukum Korut. Lebih lanjut AS hanya akan mengadakan latihan militer bersama Korsel, yang bertujuan menunjukkan kekuatan kepada Korut yang telah kurang ajar menembaki Yeonpyeong, Korsel. Namun perlu disadari reaksi ini dapat dikategorikan sebagai reaksi lemah karena tidak membawa efek apapun/reaksi balasan apapun bagi Korut karena memang selama ini AS dan Korsel telah sering melakukan latihan militer bersama-sama.
Reaksi lemah AS ini mungkin cukup mengecewakan negara-negara sekutunya, terutama sekutu militernya. Tidak diragukan lagi bahwa sekutu AS berharap AS akan segera melakukan kebijakan tertentu, entah itu dalam bentuk agresi militer ataupun kebijakan bersifat politis-ekonomi yang lebih frontal terhadap Korut. Tapi sebaliknya, reaksi lemah ini merupakan kabar gembira bagi “saingan” AS seperti Venezuela, Cina, Iran, Rusia dan lain-lain karena hal ini menunjukkan bahwa AS tidak cukup nyalinya untuk melawan negara yang mempunyai armada militer kuat.
Kemudian yang cukup mengejutkan adalah sikap Cina yang cenderung membela Korut. Hal ini tampat dari headline-headline surat kabar di negara itu yang “memuji” keberanian Korut atas tindakannya menembaki Korsel. Mengingat Cina adalah negara yang otoriter dan sangat membatasi kebebasan pers, maraknya headline yang memuji Korut ini secara tidak langsung adalah suara dari kebijakan pemerintahan negeri Tirai Bambu tersebut.
Sikap Cina ini ada kemungkinan dipicu oleh reaksi AS yang lemah. Cina yang pada zaman sekarang ini juga sedang berebut pengaruh dengan AS, melihat ada titik lemah AS yang patut diuji. Sikap tidak tegas AS ini dianggap sebagai implementasi dari ketidakmampuan (atau prediksi mengenai ketidakmampuan) kekuatan militer AS dalam menghadapi salah satu kekuatan militer terbesar di dunia, yaitu Korut.

Lalu apa yang akan terjadi? Dunia akan menunggu sejauh apa AS akan berbuat atas penembakan Korut ini. Dunia akan melihat bagaimana reaksi AS atas tingkah kurang ajar Korut ini. Bahkan, kedua Korea pun akan menunggu apa reaksi AS: Korsel akan menunggu instruksi majikannya itu, karena mustahil Korsel akan berperang sendiri dengan Korut. Sedangkan Korut akan menunggu kebijakan musuhnya itu apakah mereka akan menyerang atau tidak, jika tidak maka Korut dikemudian hari tidak perlu khawatir mengenai kedaulatan wilayah mereka dan akan semakin mengembangkan kekuatan militer dan nuklirnya…dan inilah sebenarnya yang diharapkan Korea Utara!
Ini adalah suatu kondisi yang dilematik bagi AS: ketika mereka memilih opsi untuk tidak bertindak tegas terhadap Korut, maka dominasi Unipolarisme yang selama ini dipegangnya akan semakin mengendur dan melemah. Konsekuensinya, kekuatan-kekuatan baru dunia seperti Cina dan Rusia akan semakin berani menentang dominasi AS dan AS dikemudian hari akan semakin banyak mendapat perlawanan. Sebaliknya jika AS sampai hati untuk berperang dengan Korut maka konsekuensi Perang korea jilid dua tidak dapat terhindarkan. Dan JIKA ini terjadi, hanya ada kemungkinan: Jika AS menang maka hagemoninya di dunia akan semakin menguat. Namun bila AS kalah, maka negara itu akan sangat rentan diserang oleh negara lain, baik itu secara militer ataupun ekonomi.
Jadi pada kenyataannya, insiden ini lebih banyak menguntungkan Korea Utara. Korut hanya rugi ketika AS menyerang negaranya (dan kemungkinan ini sangat kecil mengingat potensi perang Korea jilid 2) dan menang. Kemenangan ini hanyalah satu-satunya kondisi yang menguntungkan bagi AS. Selebihnya bisa dikatakan bahwa AS selalu di pihak yang rugi….. It’s a win-win condition for North Korea.
Maka dari itu, alih-alih menyebut insiden ini sebagai ketegangan antara Korea Utara dengan Korea Selatan, saya lebih suka menyebutnya dengan ketegangan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat.
Share this article :

Posting Komentar

 
Deposting | SAINS & TEGHNOLOGY
Deposting-----------------------Deposting----------------Deposting-----------------------Deposting De Pos Ting