DEPOSTING Pada bulan November 2010 ini, Korut melakukan suatu permainan yang penuh resiko dan sangat berbahaya : Menembaki pulau Yeonpyeong,
sebuah pulau di wilayah Korsel. Tindakan “sembrono” Korut ini masih
kurang jelas dilakukan atas dasar apa, namun menurut sumber yang berasal
pemerintah Korut hal ini dilakukan karena Korsel dahulu yang mulai
melakukan aksi provokasi di wilayah perbatasan kedua negara.
Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan pemerintah Korea Utara, ini adalah suatu aksi nekat dan gila yang dilakukan oleh Pyongyang. Dengan
berasumsikan bahwa Korsel adalah sekutu dekat AS dan Jepang, mereka
(Korut) mempertaruhkan kedamaian bumi Asia bagian utara dengan menembaki
puluhan peluru artilerinya ke wilayah Korsel. Terhitung sejak perang
antara kedua negara tersebut pada tahun 1950 – 1953, insiden penembakan
artileri ini adalah insiden paling agresif dari insiden-insiden
sebelumnya.
Apa yang
membuat Korea Utara sedemikian berani menentang Hagemoni Sekutu AS?
Mungkin jawabannya terletak pada konstelasi global yang cenderung
menunjukkan gejala dari Unipolar menuju Bipolar atau bahkan Multipolar.
Artinya, dunia tidak lagi menganggap AS sebagai kiblat dari berbagai hal
(terutama dalam bidang militer dan ekonomi). Kini sudah muncul kekuatan
baru, misalnya Cina dengan kekuatan ekonominya yang dahsyat dan Rusia
yang kini mulai membangkitkan kembali armada militernya setelah tertidur
hampir selama dua dekade.
Korea
Utara yang sadar dengan dinamika ini seakan-akan ingin “menguji” apa
reaksi dunia terhadap penembakan ini. Dan tampaknya, hasil yang cukup
“menggembirakan” telah datang kepada pihak Korea Utara.
Pertama-tama
adalah sikap AS sendiri yang cenderung terlihat “lembek” terhadap
insiden ini. AS hanya mengeluarkan ancaman tanpa mengeluarkan kebijakan
yang berarti untuk menghukum Korut. Lebih lanjut AS hanya akan
mengadakan latihan militer bersama Korsel, yang bertujuan menunjukkan
kekuatan kepada Korut yang telah kurang ajar menembaki Yeonpyeong,
Korsel. Namun perlu disadari reaksi ini dapat dikategorikan sebagai
reaksi lemah karena tidak membawa efek apapun/reaksi balasan apapun bagi
Korut karena memang selama ini AS dan Korsel telah sering melakukan
latihan militer bersama-sama.
Reaksi
lemah AS ini mungkin cukup mengecewakan negara-negara sekutunya,
terutama sekutu militernya. Tidak diragukan lagi bahwa sekutu AS
berharap AS akan segera melakukan kebijakan tertentu, entah itu dalam
bentuk agresi militer ataupun kebijakan bersifat politis-ekonomi yang
lebih frontal terhadap Korut. Tapi sebaliknya, reaksi lemah ini
merupakan kabar gembira bagi “saingan” AS seperti Venezuela, Cina, Iran,
Rusia dan lain-lain karena hal ini menunjukkan bahwa AS tidak cukup
nyalinya untuk melawan negara yang mempunyai armada militer kuat.
Kemudian
yang cukup mengejutkan adalah sikap Cina yang cenderung membela Korut.
Hal ini tampat dari headline-headline surat kabar di negara itu yang
“memuji” keberanian Korut atas tindakannya menembaki Korsel. Mengingat
Cina adalah negara yang otoriter dan sangat membatasi kebebasan pers,
maraknya headline yang memuji Korut ini secara tidak langsung adalah
suara dari kebijakan pemerintahan negeri Tirai Bambu tersebut.
Sikap Cina
ini ada kemungkinan dipicu oleh reaksi AS yang lemah. Cina yang pada
zaman sekarang ini juga sedang berebut pengaruh dengan AS, melihat ada
titik lemah AS yang patut diuji. Sikap tidak tegas AS ini dianggap
sebagai implementasi dari ketidakmampuan (atau prediksi mengenai
ketidakmampuan) kekuatan militer AS dalam menghadapi salah satu kekuatan
militer terbesar di dunia, yaitu Korut.
Lalu
apa yang akan terjadi? Dunia akan menunggu sejauh apa AS akan berbuat
atas penembakan Korut ini. Dunia akan melihat bagaimana reaksi AS atas
tingkah kurang ajar Korut ini. Bahkan, kedua Korea pun akan menunggu apa
reaksi AS: Korsel akan menunggu instruksi majikannya itu,
karena mustahil Korsel akan berperang sendiri dengan Korut. Sedangkan
Korut akan menunggu kebijakan musuhnya itu apakah mereka akan menyerang
atau tidak, jika tidak maka Korut dikemudian hari tidak perlu khawatir
mengenai kedaulatan wilayah mereka dan akan semakin mengembangkan
kekuatan militer dan nuklirnya…dan inilah sebenarnya yang diharapkan
Korea Utara!
Ini adalah
suatu kondisi yang dilematik bagi AS: ketika mereka memilih opsi untuk
tidak bertindak tegas terhadap Korut, maka dominasi Unipolarisme yang
selama ini dipegangnya akan semakin mengendur dan melemah.
Konsekuensinya, kekuatan-kekuatan baru dunia seperti Cina dan Rusia akan
semakin berani menentang dominasi AS dan AS dikemudian hari akan
semakin banyak mendapat perlawanan. Sebaliknya jika AS sampai hati untuk
berperang dengan Korut maka konsekuensi Perang korea jilid dua tidak
dapat terhindarkan. Dan JIKA ini terjadi, hanya ada kemungkinan: Jika AS
menang maka hagemoninya di dunia akan semakin menguat. Namun bila AS
kalah, maka negara itu akan sangat rentan diserang oleh negara lain,
baik itu secara militer ataupun ekonomi.
Jadi pada
kenyataannya, insiden ini lebih banyak menguntungkan Korea Utara. Korut
hanya rugi ketika AS menyerang negaranya (dan kemungkinan ini sangat
kecil mengingat potensi perang Korea jilid 2) dan menang.
Kemenangan ini hanyalah satu-satunya kondisi yang menguntungkan bagi
AS. Selebihnya bisa dikatakan bahwa AS selalu di pihak yang rugi….. It’s a win-win condition for North Korea.
Maka dari
itu, alih-alih menyebut insiden ini sebagai ketegangan antara Korea
Utara dengan Korea Selatan, saya lebih suka menyebutnya dengan
ketegangan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat.
Posting Komentar